If the Case of Manchester City Occur in Indonesia

avatar
(Edited)



Manchester City dihukum berat oleh Uniou European Football Association (UEFA) akibat melanggar financial fair play. City dinilai memanipulasi dana sponsor pada rentang musim 2012 hingga 2016. Mereka juga dinilai tidak kooperatif selama penyelidikan kasus ini.

Sebelumnya, UEFA menugaskan Badan Kontrol Keuangan Klub UEFA atau Club Financial Control Body (CFCB) untuk menginvestigasi keuangan The Citizens yang dilakukan sejak 2018.

Dalam situas resminya, UEFA menyebutkan Badan Ajudikasi sudah mendapatkan bukti bahwa Manchester City Football Club melakukan pelanggaran serius terhadap lisensi klub Eropa dan financial fair play. “Mereka menggelembungkan pendapatan sponsor dalam akun mereka di laporan keuangan yang diserahkan ke UEFA sejak 2012 sampai 2016.
Sanksi yang dijatuhkan UEFA sungguh membuat para pemain, pemilik klub, dan The Citizens terpukul, yakni tidak boleh bermain di kompetisi Eropa selama dua musim ke depan, yaknik musim 2020/2121 dan 2021/2022. Mereka juga harus membayar denda 30 juta euro. Wow!

Dalam situs resminya, City mengaku kecewa dengan sanksi ini dan menyebutkan mereka akan melakukan banding ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS). Dengan nada satire, City menyebutkan kasus tersebut dibuka oleh UEFA, dituntut oleh UEFA, dan diadili oleh UEFA, diputuskan juga oleh UEFA.

“Klub akan secepat mungkin berunding mengenai putusan ini. Langkah pertama yang akan kami ambil adalah mengajukan banding ke Pengadilan Arbitrase Olahraga," tulis situs resmi City menanggapi sanksi dari UEFA.
Saya mencoba membayangkan jika kasus seperti ini menimpa sebuah klub kaya seperti City terjadi di Indonesia. Mudah saja jalan ceritanya. Begini, begitu ditemukan bukti bahwa sebuah klub memanipulasi laporan keuangan, mereka akan mendekati pengurus induk organisasi sepak bola.

Tapi jauh-jauh hari, klub sudah menyiapkan tiga atau lebih bentuk laporan. Ada laporan yang sebenarnya berisi kondisi real keuangan klub. Kemudian ada laporan yang bisa dipublikasikan ke semua pihak, dan terakhir laporan entah dalam bentuk apa. Yang jelas, mereka sudah menyiapkan alasan ketika ada pihak yang mempertanyakan mana laporan yang benar.

Laporan jenis apa yang akan digunakan, tergantung kebutuhan dan situasi.

Jadi, setelah kasus itu muncul ke permukaan, pengurus klub menjumpai auditor induk olahraga dan setelah itu semuanya beres. Setelah sanksi dijatuhkan, induk olahraga mengaku mereka sudah membuat kesalahan dalam investigasi yang dilakukan. Satu dua orang auditor kemudian bicara ke media bahwa investigas itu benar adanya. Tapi suara mereka terlalu lemah untuk didengar. Kemudian, ada bencana lain di Indonesia yang lebih besar sehingga semua orang mengabaikan kasus itu meski tetap mengingat kejadian tersebut.

Kalau gagal di tingkat induk organisasi, tenang saja, masih bisa bermain di arbitrase olahraga nasional. Atau bawa kasus ini ke pengadilan niaga, dan bermainlah di sana. Bisa? Kenapa tidak?

Pikirkan saja, tenaga medis dengan keilmuan yang mereka miliki dan peralatan canggih, memutuskan seorang calon tidak memenuhi standar kesehatan untuk menjadi bupati. Lalu calon bersangkutan menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, dan hakim memutuskan calon bersangkutan memenuhi syarat. Hakim lebih tahu daripada dokter dan peralatan canggih. Logika hukum untuk menguatkan keputusan tersebut bisa dicari.

Apakah ini terdengar pesimistis? Mungkin iya. Hanya sekadar membayangkan saja dan membandingkan kekuatan hukum di negeri ini dengan negeri yang jauh di sana.[]






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif



0
0
0.000
1 comments